ANALIS UNSUR INTRINSIK DALAM PUISI ELEGI
SINTA
KAJIAN TEORI FEMENISME SOSIALIS
KARYA: DOROTHEA ROSA HERLIANY
Oleh :
Rachmat Utomo
Abstrak
Karya sastra merupakan rekaman segala
aspek kehidupan yang terjadi dimasyarakat. Karya sastra
yang baik adalah karya sastra yang dapat mencerminkan zaman serta situasi yang
berlaku dalam masyarakat melalui proses kreatifitas pengarang terhadap realita
kehidupan sosial. Melalui kehidupan sosial tersebut direkam dalam aspek
kehidupan pengarang dan melebur daya imajinasinya dalam sebuah karya sastra (puisi).
Penulisan artikel ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran bagaimana
unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam membangun estetika terciptanya suatu karya
sastra (puisi). Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis telah menelaah puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany
dan telah menerapkan unsur pembangun puisi untuk mencari unsur estetika yang
terkandung dalam puisi. Masalah dalam analisis artikel ini mencangkup unsur
intrinsik seperti tema, amanat, sikap, perasaan, tipografi, enjambemen,
akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa. Sehingga penulis dapat melihat pengarang
yang memperjuangkan tokoh “Sinta” agar tidak terbujuk dengan keinginan “Rama”
suami “Sinta” untuk terbakar dalam bara api.
Kata
Kunci: puisi, unsur intrinsik
A.
Pendahuluan
Sebagai
kreasi manusia yang diangkat dari realitas kehidupan, sastra juga mampu menjadi
wakil dari zamanya. Menurut Warren dan Wellek (1993:3) Sastra adalah suatu kegaiatan
kreatif, sebuah karya seni. Sehingga untuk menciptakan suatu karya sastra, pengarang
berhadapan dengan suatu kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat realitas
objektif. Realitas objektif itu dapat berbentuk peristiwa-peristiwa,
norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan sebagainya.
Seperti kisah Ramayana, dalam
perkembanganya mengalami berbagai perubahan sesuai zaman dan kreasi dari
pengarang, diantaranya dalam bentuk karya sastra puisi. Sebagai salah satu
genre sastra puisi, selain mengandung nilai-nilai kehidupan, sosialpsikologis,
juga mengandung nilai kesejarahan. Oleh sebab itu, lewat puisi, sering kali
pembaca dapat menemukan unsur-unsur historis yang berkaitan dengan zaman saat
puisi itu dilahirkan (Aminuddin, 1987:171).
Menurut Zulfahnur (2007:5.2) puisi
merupakan salah satu genre satra yang berisi ungkapan perasaan penyair,
mengandung rima dan irama, serta diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan
tepat. Seperti puisi karya Dorothea Rosa Herliany Elegi Sinta mengkisahkan tokoh “Sinta” berbeda dengan pengarang
lainya. Dari tokoh “Sita” di ubah menjadi “Sinta” hal ini dikarenakan pengarang
bermaksud mengubah sifat dari tokoh “Sinta”.
Dalam situasi tersebut, kisah Ramayana
tidak lagi menjadi cerita yang bersifat tunggal, sehingga kisahnya telah menginspirasi
lahirnya karya baru. Namun upaya untuk mendekrontuksi karya sastra, inti cerita
tidak terlepas dari kisah Ramayana. Dengan demikian, pengarang merombak kisah
Ramayana menjadi versi pengarang sendiri.
Oleh karena itu, di dalam menganalisis
puisi, penulis menganalisis unsur pembangun dalam puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany yakni unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Sehingga melalui analisis ini, kita dapat memahami isi cerita dan
mendeskripsikan tokoh “Sinta” dalam puisi.
B. Landasan
Teori
Dalam
kisah Ramayana, tokoh utama adalah Rama, Sita, dan Rahwana. Seperti karya puisi Dorothea Rosa Herliany puisi Elegi Sinta, mendeskripsikan tokoh “Sinta”
dalam kisah Ramayana. Dari puisi tersebut puisi Elegi Sinta merupakan puisi yang paling berbeda, karena penyair
mendefinisikan tokoh “Sinta” sebagai tokoh yang mempunyai kehendak terhadap
dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany menggunakan teori
Femenisme.
1.
Teori Femenisme
Dalam
teori femenisme, segala sesuatu yang berkaitan dengan perempuan adalah
persoalan yang sangat serius. Secara historis, pergerakan perempuan telah
dimulai sejak tahun 1800-an yang dimotori oleh Elizabeth Cady Stanton, Susan B.
Anthony, Mary Wollstnecraft. Mereka menyuarakan tentang posisi perempuan tidak
memiliki hak-hak sipil (http://perangaimentari.blogspot.com/).
Menurut
Zulfahnur (2007:8.40) secara sederhana, femenisme dapat dipahami sebagai suatu
aliran pemikiran yang menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam pandangan kaum femenis, masyarakat pada umumnya memperlakukan perempuan
sebagai makhluk yang lebih rendah daripada laki-laki.
Dengan
perspektif seperti itulah kita sebagai pembaca lebih tertantang untuk
membongkar ideologi pengarang. Dengan demikian, pembaca karya sastra adalah
pembaca yang aktif (active audience),
bukan pembaca pasif yang menerima begitu saja (take for granted) pesan (message)
yang disampaikan oleh sastrawan.
Oleh
karena itu, puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany, dalam puisinya
menceritakan tentang “Sinta” yang melawan kehendak dari suaminya. Seperti dalam
bait pertama:
aku
sinta yang urung membakar diri.
demi
darah suci
bagi
lelaki paling pengecut bernama rama.
lalu
aku basuh tubuhku, dengan darah hitam.
agar
hangat gelora cintaku.
tumbuh
di padang pendakian yang paling hina.
Bait
di atas menegaskan bagaimana “Sinta” memiliki kehendak terhadap nasibnya
sendiri. Sehingga, ia kecewa dengan keputusan yang dibuat oleh Rama. Begitupun
juga pada bait keempat:
kuraih
hidupku, tidak dalam api
–rumah
bagi para pendosa.
tapi
dalam kesunyian yang sia-sia dan papa.
agar
sejarahku terpisah dari para penakut
dan
pendusta. rama…
Dari
bait pertama maupun keempat, kekuatan perempuan yang oleh Dorothea Rosa
Herliany diungkapkan dengan kata-kata tegas dan menunjukkan perempuan mempunyai
kehendak sendiri dan derajat perempuan harus disamakan dengan kaum pria.
2.
Puisi
Secara etimologi, istilah puisi berasal
dari bahasa Yunani Poeima ‘membuat’
atau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam
bahasa Inggris disebut poem atau poerty. Puisi diartikan “membuat” dan
“pembuatan” karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu
dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana
tertentu, baik fisik maupun batiniah (Aminuddin, 1987:134).
Menurut Waluyo (2002:1) puisi adalah karya
sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan
bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Sehingga dalam memahami
makna, kata, irama dalam puisi penulis menganalisis unsur intrinsik dan tokoh dalam
puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa
Herliany.
a. Unsur
Intrinsik
Unsur
intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang bersifat otonom (Sutejo dan
Sugiyanto, 2010:76). Menurut Zulfahnur (2007:4.3) unsur intrinsik terbagi atas:
1) Tema
Tema
ialah persoalan pokok yang mendasari suatu karya sastra. Tema muncul di awal
kegiatan penciptaan karya sastra, karena adanya dorongan yang kuat pada diri
penyair untuk mengungkapkan apa yang dirasakan (Zulfahnur, 2007:4.3).
Menurut
Sutejo dan Sugiyanto (2010:76) tema adalah masalah. Sebuah karya puisi adalah
gambaran tentang masalah. Keberadaan tema dalam puisi hakikatnya adalah
persoalan masalah kehidupan itu sendiri.
2) Amanat
Amanat adalah pesan
yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca melalui karyanya. Dalam karya
sastra lama, amanat lebih banyak disampaikan penyair secara langsung atau
tersurat di dalam puisinya. Sedangkan pada karya sastra modren, lebih banyak
menuangkan amanat secara samar yaitu tersembunyi di dalam puisi atau tersirat (Zulfahnur,
2007:4.5). Menurut Waluyo (2002:40) amanat, pesan atau nasihat merupakan kesan
yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi. Amanat dirumuskan sendiri oleh
pembaca.
3) Sikap
Menurut
Zulfahnur (2007:4.5) sikap penyair yang tertuang di dalam puisi disebut juga
sebagai nada puisi. Karena sikap penyair menentukan nada setiap karyanya.
Dengan demikian, di dalam puisi nada atau tone ialah sikap penyair terhadap
pembaca sejalan engan pokok pikiran yang ditampilkannya (Aminuddin, 1987:150).
Dari
sikap itu terciptalah suasana puisi. Seperti: puisi bernada sinis, protes,
menggurui, memberontak, main-main, serius, patriotik, humor, mencemooh,
kharismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya (Waluyo, 2002:37).
4) Perasaan
Perasaan
penyair selalu terekspresikan dalam puisi-puisi ciptaanya. Perasaan ini pulalah
yang membedakan satu penyair dengan penyair lainya dalam memilih kata. Meskipun
melukiskan objek yang sama, namun latar belakang pengalaman serta pandangan
hidup penyair turut berperan membedakan ekspresi mereka dalam berkarya
(Zulfahnur, 2007:4.6).
Perasaan
yang menjiwai puisi bisa perasaan gembira, sedih, terharu, terasing,
tersinggung, patah hati, sombong, tercekap, cemburu, kesepian, takut, dan
menyesal. (Waluyo, 2002: 40).
5) Tipografi
Tipografi
merupakan ukiran bentuk puisi, yang tidak membentuk kesatuan sintaksis melainkan
tertata ke bawah membentuk kata (Zulfahnur, 2007:4.7). Tipografi merupakan
pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam membedakan puisi dengan prosa
fiksi dan drama (Jabrohim, dalam
http://www.pro-ibid.com/content/view/90/1/)
6) Enjambemen
Enjambemen
merupakan pemindahan bagian kalimat pada baris berikutnya. Selain dapat
menimbulkan nuansa makna, enjambemen juga berfungsi mempererat hubungan makna
antarbaris. Penciptaanan enjambemen tidak memiliki aturan yang khusus (Zulfahnur,
2007:4.8).
Untuk
menentukan enjambemen dalam apresiasi dibutuhkan pemenggalan yang akurat, dalam
pemenggalan puisi membubuhkan :
a) Garis miring tunggal ( / ) jika di tempat
tersebut diperlukan tanda baca koma.
b) Dua garis miring ( // ) mewakili tanda baca
titik, yaitu jika makna atau pengertian kalimat sudah tercapai.
(http://saturindu.multiply.com/journal/item/268/Apresiasi_Puisi)
7) Akulirik
Menurut
Zulfahnur (2007:4.9) akulirik yang berbicara dalam puisi. Akulirik tidak selalu
identik dengan penyairnya, meskipun penyair dapat sekaligus bertindak sebagai
akulirik.
8) Rima
Rima
ialah persamaan bunyi yang berulang secara teratur pada kata yang letaknya
berdekatan, baik yang terdapat pada satu baris atau antarbaris (Zulfahnur,
2007:4.9).
Sedangkan
rima merupakan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Sehingga
pengulangan yang teratur suatu baris puisi menimbulkan gelombang yang menciptakan
keindahan. (Waluyo, 2002:12).
Menurut
Aminuddin (1987:137) rima mengandung berbagai aspek, yaitu: (a) asonansi adalah
perulangan bunyi vokal, (b) aliterasi adalah perulangan bunyi konsonan, (c)
rima dalam adalah perulangan bunyi di antara kata-kata dalam satu baris, (d)
rima akhir adalah paduan bunyi antara
akhir baris, (e) rima identik adalah pengulangan kata di antara bait-bait, (f)
rima sempurna adalah perulangan bunyi meliputi baik perulangan konsonan maupun
vokal, (g) rima rupa adalah pengulangan hanya tampak pada penulisan suatu
bunyi, sedangkan pelafalanya tidak sama.
9) Citraan
Citraan
merupakan suatu gambaran mental atau sesuatu yang dapat dilihat di dalam
pikiran (Laurence, dalam Zulfahnur 2007:4.10). Sutejo dan Sugiyono (2010:83) menjabarkan
5 citraan atau iamaji antara lain : (a) citraan penglihatan hakikatnya
bagaimana seorang penyair secara nature
mampu melukiskan penggambarannya secara maksimal, (b) citraan pendengaran sering
berkaitan dengan penggambaran seting
dan penokohan, (c) citraan gerakan merupakan penggambaran yang didasarkan oleh
pengalaman gerak yang dialami oleh penyair, (d) citraan rabaan adalah
pengimajian penyair yang didasarkan oleh pengalaman perabaan, (e) citraan
penciuman merupakan penggambaran pengalaman indera penciuman penyair.
10) Gaya
bahasa
Zulfahnur (2007:4.11) berpendapat, gaya bahasa
dalam menciptakan puisi meliputi gaya bunyi, gaya kata, serta gaya kalimat.
Gaya bunyi meliputi terdiri dari asonansi, aliterasi, rima, efoni, dan
kakofoni. Gaya kata meliputi repetisi serta diksi, dan gaya kalimat mencangkup
gaya implikasi dan retorika.
Menurut Kasnadi dan Sutejo (2010:46) gaya
bahasa merupakan sarana strategis yang banyak dipilih pengarang untuk mengungkapkan
pengalaman kejiwaannya. Berikut beberapa gaya bahasa, yaitu: (a) alegori merupakan gaya bahasa
yang menyatakan sesuatu hal dengan perlambang, (b) alusio merupakan gaya bahasa
perbandingan yang mempergunakan ungkapan atau peribahasa yang sudah lazim
diketahui orang, (c) hiperbola merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk
melukiskan sesuatu keadaan secara berlebihan daripada sesungguhnya, (d) ironi
gaya bahasa sindiran yang menyatakan sebaliknya dengan maksud menyindir, (e)
metafora gaya bahasa kiasan atau mengandung makna secara tersirat, (f) personifikasi merupakan gaya bahasa
perbandingan yang membandingkan benda mati atau tidak bergerak seolah-olah
bernyawa dan berperilaku seperti manusia, (g) retoris merupakan gaya bahasa
yang mempergunakan kalimat tanya yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban
karena sudah diketahuinya, dan sebagainya.
b. Unsur
Ekstrinsik
Selain
unsur intrinsik yang secara langsung membangun puisi dari dalam, ada pula unsur
yang turut mempengaruhi totalitas puisi namun di luar lingkup kesastraan yang
disebut dengan unsur ektrinsik. Zulfanur (2007:4.11) berpendapat, unsur
ektrinsik dapat terdiri dari unsur biografi penyair yang turut mempengaruhi
puisinya, unsur kesejarahan yang menggambarkan keadaan zaman pada saat puisi
tersebut diciptakan, dan unsur kemasyarakatan.
Sedangkan
menurut Sutejo dan Sugiyanto (2010:7) faktor ektrinsikalitas hakikatnya adalah
faktor di luar karya sastra. Aspek-aspek unsur ektrinsik, seperti: politik,
ekonomi, pendidikan, agama, budaya, seni, keamanan, dan lain sebagainya.
C. Pembahasan
Sejalan dengan beberapa tahapan kerja teori
unsur intrinsik dan ektrinsik di atas. Pada butir ini akan dipaparkan model
analisis unsur intinsik beserta unsur ekstrinsik dengan mengangkat puisi
berjudul Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany.
1.
Unsur-unsur Puisi
a.
Unsur Intrinsik Puisi
1)
Tema
Tema puisi Elegi Sinta adalah tema kemanusiaaan. Puisi Elegi Sinta tampak menggunakan kata-kata yang sulit dipahami tetapi
menggungkapkan tema yang terkait kemanusiaan. Hal itu, terlihat dalam gambaran pada
tokoh “Sinta” yang tengah memperjuangkan kepercayaannya. Seperti pada baris 1-3
bait 1 dan baris 1-2 bait 4:
aku sinta
yang urung membakar diri/ demi darah suci/ bagi lelaki paling pengecut bernama
rama.//
kuraih
hidupku, tidak dalam api / –rumah bagi para pendosa.//
Dalam kutipan puisi tersebut, dikemukakan
bahwa pembelaan terhadap kemanusiaan terlihat jelas pada tokoh “Sinta” kepada “Rama”,
yang tak rela masuk dalam bara api hanya untuk membuktikan kesucianya terhadap “Rama”.
Karena tokoh “Sinta” mempunyai kehendak untuk menentukan nasibnya sendiri,
bukan orang lain yang menentukan nasib seseorang.
2)
Amanat
Puisi
Elegi Sinta, yang bertema tentang
kemanusiaan juga terdapat amanat atau pesan yang disampaikan oleh penyair yang
menyebar pada tiap baris puisi, antara lain:
a)
Janganlah berburuk sangka sebelum ada
bukti
b)
Hidup mati seseorang “takdir” bukan
ditentukan oleh manusia, melainkan dewalah (Tuhan) yang mengatur kapan kita
meninggal. Terdapat dalam baris 1-3 bait 1:
aku
sinta yang urung membakar diri./ demi darah suci/ bagi lelaki paling pengecut
bernama rama.//
c)
Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang
jika dia tidak berusaha untuk mengubahnya. Terdapat pada baris 1 dan 2 bait ke
4:
kuraih
hidupku, tidak dalam api / –rumah bagi para pendosa.//
d)
Janganlah mudah putus asa, dan mencari
jalan yang tak diridhoi oleh Tuhan. Terdapat pada bait kedua:
kuburu
rahwana, / dan kuminta ia menyetubuhi nafasku / menuju kehampaan langit./
kubiarkan terbang, agar tangan yang/ takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku.//
e)
Penyair juga menyampaikan pesan bahwa,
didunia ini perempuan dan laki-laki harus menghargai pendapat satu sama lain.
3)
Sikap
Dalam
pusi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa
Herliany, sikap penyair dalam karyanya adalah rasa iba. Sehingga, setelah
membaca puisi tersebut pembaca merasakan iba, kecewa dan terharu seperti dalam baris
1-3 bait 1:
aku
sinta yang urung membakar diri. / demi darah suci/ bagi lelaki paling pengecut
bernama rama.//
4)
Perasaan
Perasaan
penyair dalam puisi Elegi Sinta yang diungkapkannya
adalah perasaan sedih, kecewa, tegar, dan berani terhadap tokoh”Sinta”. Seperti
pada baris:
Baris 1-3 bait 1
aku
sinta yang urung membakar diri./demi darah suci/ bagi lelaki paling pengecut
bernama rama.
(berani melawan nasib).
Baris 1-3 bait 2
kuburu
rahwana,/dan kuminta ia menyetubuhi nafasku/ menuju kehampaan langit.// (sedih dan
pasrah terhadap sikap Rama).
Baris 3-4 bait 3
tapi
dengarlah ringkikku yang indah./ menggosongkan segala yang keramat dan abadi. (kecewa).
Bait 4
kuraih
hidupku, tidak dalam api/ –rumah bagi
para pendosa.
(tegar masih tetap dalam pendirian).
tapi
dalam kesunyian yang sia-sia dan papa. / agar sejarahku terpisah
dari para penakut/ dan pendusta. rama… (sedih)
5)
Tipografi
Dalam
puisi Elegi Sinta terdapat 4 bait
setiap bait terdiri dari 5 sampai 7 perbaris. Bentuk dalam penulisan puisinya
pun tidak begitu istimewa karena bentuk tipografinya pun sama rata datar.
Tetapi pada bait keempat terdapat sebuah garis (–) pada baris ke 2, sehingga menimbulkan suatu arti yang implisit.
kuraih
hidupku, tidak dalam api/ –rumah bagi para pendosa. / tapi dalam kesunyian yang
sia-sia dan papa./ agar sejarahku terpisah dari para penakut/ dan pendusta.
rama…
6)
Enjambemen
Dalam
puisi Elegi Sinta sendiri pada setiap
lompatan pada setiap bait terdapat jarak antara bait pertama dan kedua
begitupun seterusnya. Seperti dalam bait 1:
aku
sinta yang urung membakar diri.//
demi
darah suci/
bagi
lelaki paling pengecut bernama rama.//
lalu
aku basuh tubuhku,/ dengan darah hitam.//
agar
hangat gelora cintaku.//
tumbuh
di padang pendakian yang paling hina.//
7)
Akulirik
Akulirik
adalah perwujudan tokoh yang dituangan oleh penyair, dalam puisi Elegi Sinta terdapat 3 tokoh, antar lain
: Sinta, Rama, dan Rahwana. Namun, penyair menonjolkan tokoh “Sinta” dari pada
tokoh lain. Dari awal sampai akhir tokoh Sinta selalu hadir dalam puisi
tersebut. Seperti pada baris yang menyebar pada tiap baitnya:
aku
sinta yang urung membakar
diri./ kuburu rahwana,/ dan kuminta ia
menyetubuhi nafasku/ siapa bilang cintaku
putih? mungkin abu,/ atau bahkan segelap hidupku./
kuraih hidupku, tidak dalam api/
–rumah bagi para pendosa.//
8)
Rima
Sedangkan
rima yang terdapat dalam puisi mengunakan rima akhir, asonansi, rima dalam dan
rima rupa. Seperti dalam baris:
Baris 1 dan 2 bait 1
aku sinta yang
urung membakar diri.
demi darah suci
pada contoh di atas, merupakan perulangan rima akhir /i/ pada “diri” dan /i/
pada “suci”.
Baris 3 bait 1
lalu aku basuh tubuhku, dengan darah
hitam.
Pada contoh puisi di
atas, terdapat rima asonansi dan rima dalam, terlihat pada “lalu”, “aku”,
“basuh”, “tubuhku”, perulangan bunyi vokal tersebut pada vokal /u/. Sedangkan perulangan tersebut juga terdapat rima dalam karna kata-kata tersebut
di dalam satu larik.
Baris 1 dan 2 bait 3
siapa
bilang cintaku putih? mungkin abu,
atau
bahkan segelap hidupku.
Pada contoh di atas,
terdapat rima rupa dan rima akhir. Rima rupa pada “cintaku” dan “abu” dengan
vokal /u/, namun pelafalnya tidak sama dengan vokal /u/ pada “abu”. Sedangkan
rima akhir terlihat pada “abu” dan “hidupku” karna terdapat perulangan bunyi
/u/ pada kata akhinya.
9)
Citraan
Citraan atau imaji termuat dalam kata-kata
yang tertangkap oleh indra. Dalam puisi Elegi
Sinta terdapat citraan penglihatan.
Baris 1 bait 1
aku sinta yang
urung membakar diri.
Baris 1 bait
kuburu rahwana,
dan
kuminta ia menyetubuhi nafasku
menuju kehampaan langit.
Pada sepenggal baris di atas, terdapat
citraan penglihatan, hal ini dikarenakan dalam puisi tersebut seakan-akan
pembaca terimajinasikan oleh kenyataan sesungguhnya.
10)
Gaya Bahasa
Salah satu fungsi gaya bahasa yaitu dapat mewujudkan
bentuk estetika bahasa dalam sebuah karya sastra puisi. Berdasarkan hal
tersebut, dalam puisi Elegi Sinta,
terdapat beberapa gaya bahasa, antara lain:
Gaya bahasa ironi dalam puisi Elegi Sinta
terdapat pada baris 2 dan 3 bait 1: demi
darah suci/ bagi lelaki paling pengecut bernama rama.// Begitupun juga pada
baris 4 dan 5 bait 4: agar sejarahku
terpisah dari para penakut / dan pendusta. rama…//. Hal ini disebabkan,
gaya bahasa ironi merupakan gaya bahasa yang menyatakan makna pertentangan
dengan tujuan menyindir.
Adapun gaya bahasa alegori yaitu gaya
bahasa yang menyatakan sesuatu hal dengan perlambang. Gaya bahasa tersebut
dalam puisi Elegi Sinta terdapat pada
baris 6 bait 1: tumbuh di padang
pendakian yang paling hina.// Baris 1-3 bait 2: kuburu rahwana, / dan kuminta ia menyetubuhi nafasku/ menuju kehampaan
langit.// Baris 1 bait 4:
kuraih hidupku, tidak
dalam api / –rumah bagi para pendosa.//
Sedangkan, pada baris 1 bait 3: siapa bilang cintaku putih? mungkin abu,
/ atau bahkan segelap hidupku/
terdapat gaya bahasa retoris mempergunakan kalimat tanya yang sebenarnya tidak
memelukan jawaban. Hal ini dikarenakan, jawaban yang diperlukan terdapat pada
puisi tersebut, meskipun penyair menggunakan unsur tersirat dalam jawabannya.
Begitupun juga dengan gaya bahasa personifikasi,
pada baris 3 bait 3: tapi dengarlah
ringkikku yang indah./ menggosongkan segala yang keramat dan abadi./ karena
dalam baris tersbut mengandung gaya bahasa yang memanusiakan benda atau alam, Sehingga,
seolah-olah benda tersebut hidup seperti manusia.
D. Simpulan
Puisi merupakan salah
satu genre satra yang berisi ungkapan perasaan penyair, mengandung rima dan
irama, serta diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan tepat. Hal itu
tertuang dalam unsur pembangun puisi yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik
puisi. Unsur intrinsik dalam puisi seperti: tema, amanat, sikap, perasaan,
tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa.
Dalam puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa
Herliany, menceritakan bagaimana “Sinta” (penyair meyebut Sita dengan Sinta)
sebagai tokoh yang berani melawan suaminya untuk melompat dalam bara api, untuk
membuktikan kesucianya terhadap Rama. Melalui hal tersebut, pembaca tersentuh
dengan karyanya, sehingga pembaca berusaha mengapresiator puisi tersebut.
Dalam
karyanya, unsur-unsur dan makna yang terkandung dalam puisinya sangatlah memukau
pembaca. Gaya Bahasanya, amanat atau pesan, dan sebagainya membuat perasaaan
pembaca dibuat terpukau olehnya.
E. Daftar
Pustaka
Aminuddin. 1987. Pegantar
Apresiasi Karya Sastra. Bandung: C.V. Sinar
Baru.
Sutejo dan
Sugiyanto. 2010. Apresiasi Puisi :
Memahami Isi,
Mengolah Hati. Yogayakarta:
Pustaka Felicha.
Sutejo dan
Kasnadi. 2010. Apresiasi Prosa: Mencari
Nilai, Memahami Fiksi.
Yogayakarta:
Pustaka Felicha.
Waluyo,
Herman J. 2002. Apresiasi Puisi : Panduan
Untuk Pelajar dan
Mahasiswa. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Warren,
Austin dan Wellek Rene. 1990. Teori
Kesusastraan (terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Z.F., Zulfahnur. 2007. Teori Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka.
F.
Lampiran
Elegi Sinta
aku
sinta yang urung membakar diri.
demi darah suci
bagi lelaki paling pengecut bernama rama.
lalu aku basuh tubuhku, dengan darah hitam.
agar hangat gelora cintaku.
tumbuh di padang pendakian yang paling hina.
kuburu rahwana,
dan kuminta ia menyetubuhi nafasku
menuju kehampaan langit.
kubiarkan terbang, agar tangan yang
takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku.
siapa bilang cintaku putih? mungkin abu,
atau bahkan segelap hidupku.
tapi dengarlah ringkikku yang indah.
menggosongkan segala yang keramat dan abadi.
kuraih hidupku, tidak dalam api
–rumah bagi para pendosa.
tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa.
agar sejarahku terpisah dari para penakut
dan pendusta. rama…
Prambanan, 2002
karya
: Dorothea
Rosa Herliany