Minggu, 17 Agustus 2014

Kriteria dan Langkah-langkah Menyusun Kerangka Teks Anekdot

Kriteria Teks Anekdot
1. Lucu dan menarik
2. Mengensankan dan mengandung makna
3. tokohnya orang penting atau terkenal
4. Kejadian nyata atau yang pernah terjadi, baik pada masa lampau maupun masa kini
(Yustinah, 2014:3)

Langkah-langkah Menyusun Kerangka Teks Anekdot
1.      Merencanakan Topik yang matang dan menemukan topik yang diinginkan.
2.      Merencanakan riset atau penelitian untuk mendukung ide.
3.     Melakukan inovasi. Inovasi di sini berarti menemukan gaya yang mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan tulisan yang sudah ada.
4.   Menulis cerita dengan matriks. Matriks merupakan kerangka yang dikembangkan dengan model          tertentu berdasarkan kebutuhan. Seperti: abstraksi, orientasi, krisis, reaksi, dan koda.
     (Yustinah, 2014:15)

Selasa, 12 Agustus 2014

ANEKDOT
(Definisi, Struktur Isi, dan Kaidah Bahasa)


A. Definisi Anekdot
a.       Teks anekdot adalah sebuah cerita singkat dan lucu atau menarik, yang mungkin menggambarkan kejadian atau orang sebenarnya.
b.      Anekdot bisa saja sesingkat pengaturan dan provokasi dari sebuah kelakar. Anekdot selalu disajikan berdasarkan pada kejadian nyata melibatkan orang-orang sebenarnya, apakah terkenal atau tidak, biasanya di suatu tempat yang dapat diidentifikasai.
         
B. Struktur Anekdot
a.  Abtraksi adalah bagian awal peragraf yang berfungsi memberi gambaran isi teks. Biasanya menunjukan hal unik yang akan ada dalam teks.
b.  Orientasi adalah bagian yang menunjukan awal kejadian cerita atau latar belakang bagaimana peristiwa terjadi. Biasanya penulis bercerita dengan detil di bagian ini.
c.     Krisis adalah bagian dimana terjadi hal atau masalah yang unik atau tidak biasa yang terjadi pada penulis atau orang yang diceritakan
d.   Reaksi adalah bagian bagaimana cara penulis atau orang yang ditulis menyelesaikan masalah di bagian krisis tadi.
e.    Koda merupakan begian akhir dari cerita unik tersebut. Bisa juga dengan member simpulan tentang kejadian yang dialami penulis atau orang yang ditulis.

  C. Kaidah Teks Anekdot
a.       Menggunakan waktu lampau
Cerita-cerita dalam anekdot biasanya dimulai dengan kata kemarin, sejak dulu, sebermula, konon, suatu hari, dan sejenisnya.
Contoh dalam kalimat berikut ini:
Pada suatu hari, Onyod si tukang becak berniat membeli makan siangya selepas mengayuh becaknya selama setengah hari. Tibalah ia di sebuah makan sederhana milik Odah.
b.      Menggunakan pertanyaan retorik
Anekdot dibuat dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan retorik, yaitu pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban.
Contoh-contoh pertanyaan retorik:
1)      Mengapa jadi begini?
2)      Bukankah demikian?
3)      Menangiskah ia?
c.       Menggunakan konjungsi atau kata sambung
Konjungsi atau kata sambung digunakan untuk menghubungkan kata-kata, frasa-frasa, kalimat-kalimat, kata dan frasa, frasa dan kalimat, atau kalimat dan paragraf.
Contoh dalam kalimat berikut:
Dengan menahan kesal karena dihardik si mbak Pemilik Rumah Makan, akhirnya Onyod si Tukang Becak makan dengan hanya dilengkapi kerupuk, sedikit sambal, dan sepiring nasi. Keesokan harinya ketika Onyod sedang mengayuh becaknya, dari kejauhan ada yang memanggilnya. Teryata yang memanggilnya Odah si Pemilik Rumah Makan.
d.      Menggunakan kata kerja
Anekdot disusun dengan menggunakan verba atau kata kerja . hal ini dimaksudkan agar aktivitas atau kegiatan terlihat dengan jelas.
Contoh dalam kalimat berikut:
Odah            : “Mas Onyod, antar saya ke rumah makan ya? Tiga ribu ya?”
Onyod          : “Tiga ribu? Y sudah, naik deh, Mbak!”
e.       Menggunakan kalimat perintah
Anekdot dibuat dengan menggunakan kalimat perintah untuk memudahkan pemahaman strukturnya.
Contoh dalam kalimat berikut:
Odah        : “Mas Onyod! Hati-hati, jangan kebut-kebutan, ah! Sering-sering direm, Mas! Aku takut nih si Mas ngebut-ngebut banget!”

Daftar Pustaka:
1.      Buku teks Bahasa Indonesia SMA/MAK. Ekspresi Diri dan Akademik 2013.
                        Jakarta: Kemendikbud.
2.   Yustinah. 2014. Produktif Berbahasa Indonesia. Kudus: Erlangga.

Sabtu, 26 April 2014

ANALIS UNSUR INTRINSIK DALAM PUISI ELEGI SINTA
KAJIAN TEORI FEMENISME SOSIALIS
KARYA: DOROTHEA ROSA HERLIANY

Oleh :
     Rachmat Utomo                

Abstrak
 Karya sastra merupakan rekaman segala aspek kehidupan yang terjadi dimasyarakat. Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat mencerminkan zaman serta situasi yang berlaku dalam masyarakat melalui proses kreatifitas pengarang terhadap realita kehidupan sosial. Melalui kehidupan sosial tersebut direkam dalam aspek kehidupan pengarang dan melebur daya imajinasinya dalam sebuah karya sastra (puisi). Penulisan artikel ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran bagaimana unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam membangun estetika terciptanya suatu karya sastra (puisi). Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis telah menelaah puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany dan telah menerapkan unsur pembangun puisi untuk mencari unsur estetika yang terkandung dalam puisi. Masalah dalam analisis artikel ini mencangkup unsur intrinsik seperti tema, amanat, sikap, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa. Sehingga penulis dapat melihat pengarang yang memperjuangkan tokoh “Sinta” agar tidak terbujuk dengan keinginan “Rama” suami “Sinta” untuk terbakar dalam bara api.

Kata Kunci: puisi, unsur intrinsik

A.    Pendahuluan
Sebagai kreasi manusia yang diangkat dari realitas kehidupan, sastra juga mampu menjadi wakil dari zamanya. Menurut Warren dan Wellek (1993:3) Sastra adalah suatu kegaiatan kreatif, sebuah karya seni. Sehingga untuk menciptakan suatu karya sastra, pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat realitas objektif. Realitas objektif itu dapat berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan sebagainya.

Seperti kisah Ramayana, dalam perkembanganya mengalami berbagai perubahan sesuai zaman dan kreasi dari pengarang, diantaranya dalam bentuk karya sastra puisi. Sebagai salah satu genre sastra puisi, selain mengandung nilai-nilai kehidupan, sosialpsikologis, juga mengandung nilai kesejarahan. Oleh sebab itu, lewat puisi, sering kali pembaca dapat menemukan unsur-unsur historis yang berkaitan dengan zaman saat puisi itu dilahirkan (Aminuddin, 1987:171).
Menurut Zulfahnur (2007:5.2) puisi merupakan salah satu genre satra yang berisi ungkapan perasaan penyair, mengandung rima dan irama, serta diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan tepat. Seperti puisi karya Dorothea Rosa Herliany Elegi Sinta mengkisahkan tokoh “Sinta” berbeda dengan pengarang lainya. Dari tokoh “Sita” di ubah menjadi “Sinta” hal ini dikarenakan pengarang bermaksud mengubah sifat dari tokoh “Sinta”.
Dalam situasi tersebut, kisah Ramayana tidak lagi menjadi cerita yang bersifat tunggal, sehingga kisahnya telah menginspirasi lahirnya karya baru. Namun upaya untuk mendekrontuksi karya sastra, inti cerita tidak terlepas dari kisah Ramayana. Dengan demikian, pengarang merombak kisah Ramayana menjadi versi pengarang sendiri.
Oleh karena itu, di dalam menganalisis puisi, penulis menganalisis unsur pembangun dalam puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sehingga melalui analisis ini, kita dapat memahami isi cerita dan mendeskripsikan tokoh “Sinta” dalam puisi.

B.     Landasan Teori
      Dalam kisah Ramayana, tokoh utama adalah Rama, Sita, dan Rahwana. Seperti  karya puisi Dorothea Rosa Herliany puisi Elegi Sinta, mendeskripsikan tokoh “Sinta” dalam kisah Ramayana. Dari puisi tersebut puisi Elegi Sinta merupakan puisi yang paling berbeda, karena penyair mendefinisikan tokoh “Sinta” sebagai tokoh yang mempunyai kehendak terhadap dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany menggunakan teori Femenisme.
1.      Teori Femenisme
     Dalam teori femenisme, segala sesuatu yang berkaitan dengan perempuan adalah persoalan yang sangat serius. Secara historis, pergerakan perempuan telah dimulai sejak tahun 1800-an yang dimotori oleh Elizabeth Cady Stanton, Susan B. Anthony, Mary Wollstnecraft. Mereka menyuarakan tentang posisi perempuan tidak memiliki hak-hak sipil (http://perangaimentari.blogspot.com/).
Menurut Zulfahnur (2007:8.40) secara sederhana, femenisme dapat dipahami sebagai suatu aliran pemikiran yang menghendaki kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan kaum femenis, masyarakat pada umumnya memperlakukan perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah daripada laki-laki.
Dengan perspektif seperti itulah kita sebagai pembaca lebih tertantang untuk membongkar ideologi pengarang. Dengan demikian, pembaca karya sastra adalah pembaca yang aktif (active audience), bukan pembaca pasif yang menerima begitu saja (take for granted) pesan (message) yang disampaikan oleh sastrawan.
Oleh karena itu,  puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany, dalam puisinya menceritakan tentang “Sinta” yang melawan kehendak dari suaminya. Seperti dalam bait pertama:

aku sinta yang urung membakar diri.
demi darah suci
bagi lelaki paling pengecut bernama rama.
lalu aku basuh tubuhku, dengan darah hitam.
agar hangat gelora cintaku.
tumbuh di padang pendakian yang paling hina.

Bait di atas menegaskan bagaimana “Sinta” memiliki kehendak terhadap nasibnya sendiri. Sehingga, ia kecewa dengan keputusan yang dibuat oleh Rama. Begitupun juga pada bait keempat:

kuraih hidupku, tidak dalam api
–rumah bagi para pendosa.
tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa.        
agar sejarahku terpisah dari para penakut
dan pendusta. rama…


Dari bait pertama maupun keempat, kekuatan perempuan yang oleh Dorothea Rosa Herliany diungkapkan dengan kata-kata tegas dan menunjukkan perempuan mempunyai kehendak sendiri dan derajat perempuan harus disamakan dengan kaum pria.

2.      Puisi
      Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani Poeima ‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’, dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau poerty. Puisi diartikan “membuat” dan “pembuatan” karena lewat puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan suatu dunia tersendiri, yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah (Aminuddin, 1987:134).
      Menurut Waluyo (2002:1) puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Sehingga dalam memahami makna, kata, irama dalam puisi penulis menganalisis unsur intrinsik dan tokoh dalam puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany.
a.       Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang bersifat otonom (Sutejo dan Sugiyanto, 2010:76). Menurut Zulfahnur (2007:4.3) unsur intrinsik terbagi atas:
1)      Tema
Tema ialah persoalan pokok yang mendasari suatu karya sastra. Tema muncul di awal kegiatan penciptaan karya sastra, karena adanya dorongan yang kuat pada diri penyair untuk mengungkapkan apa yang dirasakan (Zulfahnur, 2007:4.3).
Menurut Sutejo dan Sugiyanto (2010:76) tema adalah masalah. Sebuah karya puisi adalah gambaran tentang masalah. Keberadaan tema dalam puisi hakikatnya adalah persoalan masalah kehidupan itu sendiri.

2)      Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca melalui karyanya. Dalam karya sastra lama, amanat lebih banyak disampaikan penyair secara langsung atau tersurat di dalam puisinya. Sedangkan pada karya sastra modren, lebih banyak menuangkan amanat secara samar yaitu tersembunyi di dalam puisi atau tersirat (Zulfahnur, 2007:4.5). Menurut Waluyo (2002:40) amanat, pesan atau nasihat merupakan kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca puisi. Amanat dirumuskan sendiri oleh pembaca.
3)      Sikap
Menurut Zulfahnur (2007:4.5) sikap penyair yang tertuang di dalam puisi disebut juga sebagai nada puisi. Karena sikap penyair menentukan nada setiap karyanya. Dengan demikian, di dalam puisi nada atau tone ialah sikap penyair terhadap pembaca sejalan engan pokok pikiran yang ditampilkannya (Aminuddin, 1987:150).
Dari sikap itu terciptalah suasana puisi. Seperti: puisi bernada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius, patriotik, humor, mencemooh, kharismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya (Waluyo, 2002:37).
4)      Perasaan
Perasaan penyair selalu terekspresikan dalam puisi-puisi ciptaanya. Perasaan ini pulalah yang membedakan satu penyair dengan penyair lainya dalam memilih kata. Meskipun melukiskan objek yang sama, namun latar belakang pengalaman serta pandangan hidup penyair turut berperan membedakan ekspresi mereka dalam berkarya (Zulfahnur, 2007:4.6).
Perasaan yang menjiwai puisi bisa perasaan gembira, sedih, terharu, terasing, tersinggung, patah hati, sombong, tercekap, cemburu, kesepian, takut, dan menyesal.  (Waluyo, 2002: 40).
5)      Tipografi
Tipografi merupakan ukiran bentuk puisi, yang tidak membentuk kesatuan sintaksis melainkan tertata ke bawah membentuk kata (Zulfahnur, 2007:4.7). Tipografi merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama (Jabrohim, dalam  http://www.pro-ibid.com/content/view/90/1/)
6)      Enjambemen
Enjambemen merupakan pemindahan bagian kalimat pada baris berikutnya. Selain dapat menimbulkan nuansa makna, enjambemen juga berfungsi mempererat hubungan makna antarbaris. Penciptaanan enjambemen tidak memiliki aturan yang khusus (Zulfahnur, 2007:4.8).
      Untuk menentukan enjambemen dalam apresiasi dibutuhkan pemenggalan yang akurat, dalam pemenggalan puisi membubuhkan :
a)      Garis miring tunggal ( / ) jika di tempat tersebut diperlukan tanda baca koma.
b)      Dua garis miring ( // ) mewakili tanda baca titik, yaitu jika makna atau pengertian kalimat sudah tercapai.
(http://saturindu.multiply.com/journal/item/268/Apresiasi_Puisi)
7)      Akulirik
Menurut Zulfahnur (2007:4.9) akulirik yang berbicara dalam puisi. Akulirik tidak selalu identik dengan penyairnya, meskipun penyair dapat sekaligus bertindak sebagai akulirik.
8)      Rima
Rima ialah persamaan bunyi yang berulang secara teratur pada kata yang letaknya berdekatan, baik yang terdapat pada satu baris atau antarbaris (Zulfahnur, 2007:4.9).
Sedangkan rima merupakan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Sehingga pengulangan yang teratur suatu baris puisi menimbulkan gelombang yang menciptakan keindahan.  (Waluyo, 2002:12).
Menurut Aminuddin (1987:137) rima mengandung berbagai aspek, yaitu: (a) asonansi adalah perulangan bunyi vokal, (b) aliterasi adalah perulangan bunyi konsonan, (c) rima dalam adalah perulangan bunyi di antara kata-kata dalam satu baris, (d) rima akhir adalah paduan  bunyi antara akhir baris, (e) rima identik adalah pengulangan kata di antara bait-bait, (f) rima sempurna adalah perulangan bunyi meliputi baik perulangan konsonan maupun vokal, (g) rima rupa adalah pengulangan hanya tampak pada penulisan suatu bunyi, sedangkan pelafalanya tidak sama.
9)      Citraan
Citraan merupakan suatu gambaran mental atau sesuatu yang dapat dilihat di dalam pikiran (Laurence, dalam Zulfahnur 2007:4.10). Sutejo dan Sugiyono (2010:83) menjabarkan 5 citraan atau iamaji antara lain : (a) citraan penglihatan hakikatnya bagaimana seorang penyair secara nature mampu melukiskan penggambarannya secara maksimal,                (b) citraan pendengaran sering berkaitan dengan penggambaran seting dan penokohan, (c) citraan gerakan merupakan penggambaran yang didasarkan oleh pengalaman gerak yang dialami oleh penyair,                   (d) citraan rabaan adalah pengimajian penyair yang didasarkan oleh pengalaman perabaan, (e) citraan penciuman merupakan penggambaran pengalaman indera penciuman penyair.
10)  Gaya bahasa
      Zulfahnur (2007:4.11) berpendapat, gaya bahasa dalam menciptakan puisi meliputi gaya bunyi, gaya kata, serta gaya kalimat. Gaya bunyi meliputi terdiri dari asonansi, aliterasi, rima, efoni, dan kakofoni. Gaya kata meliputi repetisi serta diksi, dan gaya kalimat mencangkup gaya implikasi dan retorika.
      Menurut Kasnadi dan Sutejo (2010:46) gaya bahasa merupakan sarana strategis yang banyak dipilih pengarang untuk mengungkapkan pengalaman kejiwaannya. Berikut beberapa gaya bahasa, yaitu:               (a) alegori merupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal dengan perlambang, (b) alusio merupakan gaya bahasa perbandingan yang mempergunakan ungkapan atau peribahasa yang sudah lazim diketahui orang, (c) hiperbola merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk melukiskan sesuatu keadaan secara berlebihan daripada sesungguhnya, (d) ironi gaya bahasa sindiran yang menyatakan sebaliknya dengan maksud menyindir, (e) metafora gaya bahasa kiasan atau mengandung makna secara tersirat,  (f) personifikasi merupakan gaya bahasa perbandingan yang membandingkan benda mati atau tidak bergerak seolah-olah bernyawa dan berperilaku seperti manusia,            (g) retoris merupakan gaya bahasa yang mempergunakan kalimat tanya yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena sudah diketahuinya, dan sebagainya.
b.      Unsur Ekstrinsik
Selain unsur intrinsik yang secara langsung membangun puisi dari dalam, ada pula unsur yang turut mempengaruhi totalitas puisi namun di luar lingkup kesastraan yang disebut dengan unsur ektrinsik. Zulfanur (2007:4.11) berpendapat, unsur ektrinsik dapat terdiri dari unsur biografi penyair yang turut mempengaruhi puisinya, unsur kesejarahan yang menggambarkan keadaan zaman pada saat puisi tersebut diciptakan, dan unsur kemasyarakatan.
Sedangkan menurut Sutejo dan Sugiyanto (2010:7) faktor ektrinsikalitas hakikatnya adalah faktor di luar karya sastra. Aspek-aspek unsur ektrinsik, seperti: politik, ekonomi, pendidikan, agama, budaya, seni, keamanan, dan lain sebagainya.

C.     Pembahasan
Sejalan dengan beberapa tahapan kerja teori unsur intrinsik dan ektrinsik di atas. Pada butir ini akan dipaparkan model analisis unsur intinsik beserta unsur ekstrinsik dengan mengangkat puisi berjudul Elegi Sinta  karya Dorothea Rosa Herliany.
1.      Unsur-unsur Puisi
a.       Unsur Intrinsik Puisi
1)      Tema
      Tema puisi Elegi Sinta adalah tema kemanusiaaan. Puisi Elegi Sinta tampak menggunakan kata-kata yang sulit dipahami tetapi menggungkapkan tema yang terkait kemanusiaan. Hal itu, terlihat dalam gambaran pada tokoh “Sinta” yang tengah memperjuangkan kepercayaannya. Seperti pada baris 1-3 bait 1 dan baris 1-2 bait 4:
 aku sinta yang urung membakar diri/ demi darah suci/ bagi lelaki paling pengecut bernama rama.//

 kuraih hidupku, tidak dalam api / –rumah bagi para pendosa.//

      Dalam kutipan puisi tersebut, dikemukakan bahwa pembelaan terhadap kemanusiaan terlihat jelas pada tokoh “Sinta” kepada “Rama”, yang tak rela masuk dalam bara api hanya untuk membuktikan kesucianya terhadap “Rama”. Karena tokoh “Sinta” mempunyai kehendak untuk menentukan nasibnya sendiri, bukan orang lain yang menentukan nasib seseorang.
2)      Amanat
Puisi Elegi Sinta, yang bertema tentang kemanusiaan juga terdapat amanat atau pesan yang disampaikan oleh penyair yang menyebar pada tiap baris puisi, antara lain:
a)      Janganlah berburuk sangka sebelum ada bukti
b)      Hidup mati seseorang “takdir” bukan ditentukan oleh manusia, melainkan dewalah (Tuhan) yang mengatur kapan kita meninggal. Terdapat dalam baris 1-3 bait 1:
aku sinta yang urung membakar diri./ demi darah suci/ bagi lelaki paling pengecut bernama rama.//
c)      Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang jika dia tidak berusaha untuk mengubahnya. Terdapat pada baris 1 dan 2 bait ke 4:
kuraih hidupku, tidak dalam api / –rumah bagi para pendosa.//
d)     Janganlah mudah putus asa, dan mencari jalan yang tak diridhoi oleh Tuhan. Terdapat pada bait kedua:
kuburu rahwana, / dan kuminta ia menyetubuhi nafasku / menuju kehampaan langit./ kubiarkan terbang, agar tangan yang/ takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku.//
e)      Penyair juga menyampaikan pesan bahwa, didunia ini perempuan dan laki-laki harus menghargai pendapat satu sama lain.
3)      Sikap
Dalam pusi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany, sikap penyair dalam karyanya adalah rasa iba. Sehingga, setelah membaca puisi tersebut pembaca merasakan iba, kecewa dan terharu seperti dalam baris 1-3 bait 1:
aku sinta yang urung membakar diri. / demi darah suci/ bagi lelaki paling pengecut bernama rama.//
             

4)      Perasaan
Perasaan penyair dalam puisi Elegi Sinta yang diungkapkannya adalah perasaan sedih, kecewa, tegar, dan berani terhadap tokoh”Sinta”. Seperti pada baris:
                                    Baris 1-3 bait 1
aku sinta yang urung membakar diri./demi darah suci/ bagi lelaki paling pengecut bernama rama. (berani melawan nasib).

                  Baris 1-3 bait 2
kuburu rahwana,/dan kuminta ia menyetubuhi nafasku/ menuju kehampaan langit.// (sedih dan pasrah terhadap sikap Rama).

                  Baris 3-4 bait 3
tapi dengarlah ringkikku yang indah./ menggosongkan segala yang keramat dan abadi. (kecewa).

                  Bait 4
kuraih hidupku, tidak dalam api/  –rumah bagi para pendosa. (tegar masih tetap dalam pendirian).
tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa. /  agar sejarahku terpisah dari para penakut/   dan pendusta. rama… (sedih)
5)      Tipografi
Dalam puisi Elegi Sinta terdapat 4 bait setiap bait terdiri dari 5 sampai 7 perbaris. Bentuk dalam penulisan puisinya pun tidak begitu istimewa karena bentuk tipografinya pun sama rata datar. Tetapi pada bait keempat terdapat sebuah garis () pada baris ke 2, sehingga menimbulkan suatu arti yang implisit.
kuraih hidupku, tidak dalam api/ –rumah bagi para pendosa. / tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa./ agar sejarahku terpisah dari para penakut/ dan pendusta. rama…

6)      Enjambemen
Dalam puisi Elegi Sinta sendiri pada setiap lompatan pada setiap bait terdapat jarak antara bait pertama dan kedua begitupun seterusnya. Seperti dalam bait 1:
            aku sinta yang urung membakar diri.//
            demi darah suci/
            bagi lelaki paling pengecut bernama rama.//
            lalu aku basuh tubuhku,/ dengan darah hitam.//
            agar hangat gelora cintaku.//
            tumbuh di padang pendakian yang paling hina.//

7)      Akulirik
      Akulirik adalah perwujudan tokoh yang dituangan oleh penyair, dalam puisi Elegi Sinta terdapat 3 tokoh, antar lain : Sinta, Rama, dan Rahwana. Namun, penyair menonjolkan tokoh “Sinta” dari pada tokoh lain. Dari awal sampai akhir tokoh Sinta selalu hadir dalam puisi tersebut. Seperti pada baris yang menyebar pada tiap baitnya:
aku sinta yang urung membakar diri./   kuburu rahwana,/ dan kuminta ia menyetubuhi nafasku/ siapa bilang cintaku putih? mungkin abu,/ atau bahkan segelap hidupku./ kuraih hidupku, tidak dalam api/ –rumah bagi para pendosa.//

8)      Rima
Sedangkan rima yang terdapat dalam puisi mengunakan rima akhir, asonansi, rima dalam dan rima rupa. Seperti dalam baris:
            Baris 1 dan 2 bait 1
aku sinta yang urung membakar diri. 
demi darah suci


pada contoh di atas, merupakan perulangan rima akhir /i/ pada “diri” dan /i/ pada “suci”.

Baris 3 bait 1
lalu aku basuh tubuhku, dengan darah hitam.


Pada contoh puisi di atas, terdapat rima asonansi dan rima dalam, terlihat pada “lalu”, “aku”, “basuh”, “tubuhku”, perulangan bunyi vokal tersebut pada vokal  /u/. Sedangkan perulangan tersebut juga  terdapat rima dalam karna kata-kata tersebut di dalam satu larik.

Baris 1 dan 2 bait 3
siapa bilang cintaku putih? mungkin abu,
atau bahkan segelap hidupku.

Pada contoh di atas, terdapat rima rupa dan rima akhir. Rima rupa pada “cintaku” dan “abu” dengan vokal /u/, namun pelafalnya tidak sama dengan vokal /u/ pada “abu”. Sedangkan rima akhir terlihat pada “abu” dan “hidupku” karna terdapat perulangan bunyi /u/ pada kata akhinya.

9)      Citraan
      Citraan atau imaji termuat dalam kata-kata yang tertangkap oleh indra. Dalam puisi Elegi Sinta terdapat citraan penglihatan.
            Baris 1 bait 1
            aku sinta yang urung membakar diri.

            Baris 1 bait
            kuburu rahwana,
            dan kuminta ia menyetubuhi nafasku               
            menuju kehampaan langit.
                       
Pada sepenggal baris di atas, terdapat citraan penglihatan, hal ini dikarenakan dalam puisi tersebut seakan-akan pembaca terimajinasikan oleh kenyataan sesungguhnya.

10)  Gaya Bahasa
      Salah satu fungsi gaya bahasa yaitu dapat mewujudkan bentuk estetika bahasa dalam sebuah karya sastra puisi. Berdasarkan hal tersebut, dalam puisi Elegi Sinta, terdapat beberapa gaya bahasa, antara lain:
      Gaya bahasa ironi dalam puisi Elegi Sinta terdapat pada baris 2 dan 3 bait 1: demi darah suci/ bagi lelaki paling pengecut bernama rama.// Begitupun juga pada baris 4 dan 5 bait 4: agar sejarahku terpisah dari para penakut / dan pendusta. rama…//. Hal ini disebabkan, gaya bahasa ironi merupakan gaya bahasa yang menyatakan makna pertentangan dengan tujuan menyindir.
      Adapun gaya bahasa alegori yaitu gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal dengan perlambang. Gaya bahasa tersebut dalam puisi Elegi Sinta terdapat pada baris 6 bait 1: tumbuh di padang pendakian yang paling hina.// Baris 1-3 bait 2: kuburu rahwana, / dan kuminta ia menyetubuhi nafasku/ menuju kehampaan langit.// Baris 1 bait 4:








kuraih hidupku, tidak dalam api / –rumah bagi para pendosa.//
      Sedangkan, pada baris 1 bait 3: siapa bilang cintaku putih? mungkin abu, /  atau bahkan segelap hidupku/ terdapat gaya bahasa retoris mempergunakan kalimat tanya yang sebenarnya tidak memelukan jawaban. Hal ini dikarenakan, jawaban yang diperlukan terdapat pada puisi tersebut, meskipun penyair menggunakan unsur tersirat dalam jawabannya.
      Begitupun juga dengan gaya bahasa personifikasi, pada baris 3 bait 3: tapi dengarlah ringkikku yang indah./ menggosongkan segala yang keramat dan abadi./ karena dalam baris tersbut mengandung gaya bahasa yang memanusiakan benda atau alam, Sehingga, seolah-olah benda tersebut hidup seperti manusia.

D.    Simpulan
Puisi merupakan salah satu genre satra yang berisi ungkapan perasaan penyair, mengandung rima dan irama, serta diungkapkan dalam pilihan kata yang cermat dan tepat. Hal itu tertuang dalam unsur pembangun puisi yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi. Unsur intrinsik dalam puisi seperti: tema, amanat, sikap, perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya bahasa.
Dalam puisi Elegi Sinta karya Dorothea Rosa Herliany, menceritakan bagaimana “Sinta” (penyair meyebut Sita dengan Sinta) sebagai tokoh yang berani melawan suaminya untuk melompat dalam bara api, untuk membuktikan kesucianya terhadap Rama. Melalui hal tersebut, pembaca tersentuh dengan karyanya, sehingga pembaca berusaha mengapresiator puisi tersebut.
        Dalam karyanya, unsur-unsur dan makna yang terkandung dalam puisinya sangatlah memukau pembaca. Gaya Bahasanya, amanat atau pesan, dan sebagainya membuat perasaaan pembaca dibuat terpukau olehnya.

E.     Daftar Pustaka
Aminuddin. 1987.  Pegantar  Apresiasi  Karya  Sastra.  Bandung:  C.V. Sinar
      Baru.
Sutejo   dan    Sugiyanto.   2010.    Apresiasi    Puisi :   Memahami  Isi,
Mengolah Hati. Yogayakarta: Pustaka Felicha.

Sutejo dan Kasnadi. 2010. Apresiasi Prosa: Mencari Nilai, Memahami Fiksi.
Yogayakarta: Pustaka Felicha.

Waluyo, Herman J. 2002. Apresiasi Puisi : Panduan Untuk  Pelajar  dan  
      Mahasiswa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Warren, Austin dan Wellek Rene. 1990. Teori Kesusastraan (terjemahan  oleh Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Z.F., Zulfahnur. 2007. Teori Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka.


F.      Lampiran

        Elegi Sinta
aku sinta yang urung membakar diri. 
demi darah suci
bagi lelaki paling pengecut bernama rama. 
lalu aku basuh tubuhku, dengan darah hitam. 
agar hangat gelora cintaku.
tumbuh di padang pendakian yang paling hina.

kuburu rahwana, 
dan kuminta ia menyetubuhi nafasku
menuju kehampaan langit. 
kubiarkan terbang, agar tangan yang 
takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku.

siapa bilang cintaku putih? mungkin abu, 
atau bahkan segelap hidupku. 
tapi dengarlah ringkikku yang indah.
menggosongkan segala yang keramat dan abadi. 

kuraih hidupku, tidak dalam api 
–rumah bagi para pendosa. 
tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa.             
agar sejarahku terpisah dari para penakut 
dan pendusta. rama…

Prambanan, 2002


karya : Dorothea Rosa Herliany