Rabu, 13 November 2013

Kalimat Efektif

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kalimat Efektif
2.1.1 Pengertian Kalimat Efektif
1.      Menurut Zaenal Arifin, dkk., (2010:97)
Kalimat efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis.
2.      Menurut Yeti Mulyati, dkk., (2009:7.6)
Kalimat efektif adalah kalimat yang mampu menyampaikan informasi dari penulis kepada pembaca secara tepat, sehingga pembaca bisa memahami informasi yang tersaji dalam kalimat itu secara tepat pula.
3.      Menurut Wahyu Wibowo, (2007:93)
Kalimat efektif adalah kalimat yang tersusun secara baik, benar, segar, jelas, bening, dan tidak berpeluang memunculkan ingar (noise).
4.      http://readone82.blogdetik.com/2009/08/26/kalimat-efektif/
Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mewakili gagasan pembicara atau penulis serta dapat diterima maksudnya/arti serta tujuannya seperti yang di maksud penulis /pembicara.

2.1.2 Ciri-ciri Kalimat Efektif (kehematan, kecermatan, dan keparelaan)
1.      Kehematan
Kehematan adalah hemat mempergunakan kata, frasa, atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu (Zaenal, 2010:101). Yeti (2009:7.9) berpendapat kehematan dalam kalimat efektif merupakan kehematan dalam pemakaian kata, frase, atau bentuk lainya yang dianggap tidak diperlukan baik yang berkaitan dengan aspek gramatikal bahasa maupun aspek makna. Unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam memenuhi prinsip kehematan adalah hal-hal berikut.
a.       Penghematan dapat dilakukan dengan cara menghilangkan pengulangan subjek.
Contoh:
1)      Karena ia tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.
2)      Hadirin serentak berdiri setelah mereka mengetahui bahwa Presiden datang.
3)      Gadis itu segera berlari setelah ia mengetahui bahasanya mengancamnya.
Perbaikan kalimat di atas adalah sebagai berikut
1)      Karena tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.
2)      Hadirin serentak berdiri setelah mengetahui bahwa Presiden datang.
3)      Gadis itu segera berlari setelah mengetahui bahasaya mengancamnya.
b.      Penghematan dapat dilakukan dengan cara menhindarkan pemakaian superordinat pada hiponimi kata.
Contoh:
1)      Ia memakai baju warna merah.
2)      Ia pergi hari kamis kemarin.
3)      Adik lahir pada Bulan Maret 1990.
Perbaikan kalimat di atas adalah sebagai berikut
1)      Ia memakai baju merah.
2)      Ia pergi kamis kemarin.
3)      Adik lahir pada Maret 1990.
c.       Penghematan dapat dilakukan dengan cara menghindarkan kesinoniman dalam satu kalimat.
Contoh:
1)      Dia hanya membawa badanya saja.
2)      Sejak dari pagi dia bermenung.
3)      Demi untuk kampusku tercinta.

Perbaikan kalimat di atas adalah sebagai berikut
1)      Dia hanya membawa badanya.
2)      Sejak pagi dia bermenung.
3)      Demi kampusku tercinta.
d.      Pengehamatan dapat dilakukan dengan cara tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk jamak.
Contoh:
Bentuk Tidak Baku                                   Bentuk Baku
Para tamu-tamu                                         para tamu
Beberapa orang-orang                               beberapa orang
Para hadirin                                               hadirin

2.      Kecermatan
Menurut Siti (2007:27) kecermatan artinya kalimat itu tidak menimbulkan tafsiran ganda dan tepat dalam pilihan kata. Wibowo (2007:101) berpendapat kecermatan yakni cermat menggunakan kata-kata dalam kalimat, sehingga kalimat tersebut tidak ambigu (menimbulkan tafsiran ganda). Perhatikan kalimat berikut.
1)         Mahasiswa perguruan tinggi yang terkenal itu menerima hadiah.
2)         Dia menerima uang sebanyak dua puluh lima ribuan.
3)         Istri kepala bagian kredit Bank BNI yang baru itu belum lama ini menerima penghargaan dari pemerintah.
Kalimat di atas dapat diubah menjadi
1)      Mahasiswa yang terkenal itu menerima hadiah.
2)      Dia menerima uang sebanyak seratus ribu rupiah.
3)      Istri baru kepala bagian kredit Bank BNI yang itu belum lama ini menerima penghargaan dari pemerintah.
Hal itu disebabkan, pada kalimat (1) siapa yang terkenal, mahasiswa atau perguruan tinggi), (2) berapa jumlah uang, seratus ribu rupiah atau dua puluh lima ribu rupiah, (3) siapa yang baru, istri atau Bank BNI.


3.      Keparelaan atau Kesejajaran
Menurut Zaenal (2010:99) keparelaan adalah kesamaan bentuk kata yang digunakan dalam kalimat itu. Artinya, kalau bentuk pertama menggunakan nomina, bentuk kedua dan seterusnya juga harus menggunakan nomina. Kalau bentuk pertama menggunakan verba, bentuk kedua juga menggunakan verba. Siti (2007:24) berpendapat keperelaan atau kesejajaran adalah terdapatnya unsur-unsur yang sama derajatnya, sama pola atau susunan kata dan frasa yang dipakai di dalam kalimat. Jika suatu ungkapan dinyatakan dalam bentuk kata kerja (“me-kan” atau “di-kan”), umpamanya, ungkapan berikutnya yang sederajat harus dinyatakan dalam bentuk kata kerja. Begitu pula, andai suatu bentuk dinyatakan dalam kata benda “pe-an” atau “ke-an”), bentuk berikutnya juga  harus dinyatakan dalam kata benda.
Contoh:
1)      Harga minyak dibekukan atau kenaikan secara luwes.
2)      Kakakmu menjadi dosen atau sebagai pengusaha.
3)      Demikian agar ibu maklum, dan atas perhatianya saya ucapkan terima kasih.
Perbaikan kalimat di atas adalah sebagai berikut
1)      Harga minyak dibekukan atau dinaikan secara luwes.
2)      Kakakmu menjadi dosen atau menjadi pengusaha.
3)      Demikian agar Ibu maklum, dan atas perhatian Ibu, saya ucapkan terima kasih.


Selasa, 12 November 2013

TINDAK TUTUR DAN PRAGMATIK

LANDASAN TEORI


1.      Tindak Tutur
Teori tindak tutur bermula pada karya buku Austin dan Searle (dalam Ibrahim 1993:108). Bertolak dari pendapat tersebut, buku How to do things with word (bagaimana melakukan sesuatu dengan kata-kata) dengan pengarang Austin  dan Searle yang menyajikan makalah-makalah tindak tutur.
      Dari pendapat di atas, Ibrahim (1993:109) menguraikan definisi tindak tutur, tindak tutur adalah suatu tuturan yang berfungsi pikologis dan sosial di luar wacana yang sedang terjadi. Definisi Ibrahim terdapat perbedaan dengan Yule (2006:82) tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Dengan demikian, dapat disimpulkan tindak tutur memiliki fungsi piskologis dan sosial saat berkomunikasi dan sebagai sarana untuk melakukan sesuatu melalui tindakan-tindakan yang diucapkan lewat lisan.
     Berkenaan dengan tindak tutur, terdapat tindak tutur yang beragam sebagai berikut ini: Austin (dalam Rani, 2010:160-163) membagi tindak tutur, yaitu tindak lokusi (lotionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Bertolak dari pendapat di atas, diuraikan sebagai berikut:
 a.       Tindak Lokusi
Tindak lokusi merupakan tindak yang menyatakan sesuatu tetapi tindak tersebut tindak menuntut pertanggung jawaban dari lawan tutur.  Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut: Ia mengatakan kepada saya, “Jangan lagi ganggu dia”. Pada kalimat tersebut merupakan tuturan lokusi, penutur menggunakan kalimat deklaratif, penutur  menyatakan sesuatu dengan lengkap pada saat ia ingin menyampaikan informasi kepada lawan tutur.
       b.      Tindak Ilokusi
Tindak ilokusi memiliki maksud sebaliknya dari tindak lokusi. Tindak ilokusi merupakan tindak yang mengatakan sesuatu dengan maksud isi tuturan untuk meminta pertanggungjawaban dari penutur. Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut: Besok saya tunggu di kampus A gedung A1. Pada kalimat tersebut yaitu “Besok saya tunggu” merupakan tuturan ilokusi, penutur menggunakan peryataan berjanji kepada lawan tutur. Peryataan berjanji tersebut meminta pertanggungjawab penutur akan tindakan yang akan datang kepada lawan tutur.
      c.       Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi adalah tindak yang mempengaruhi kondisi psikologis lawan tutur agar menuruti keinginan penutur. Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut: Maaf, saya sangat sibuk. Kalimat tersebut merupakan tuturan perlokusi, penutur mempengaruhi kondisi lawan tutur dengan menggunakan peryataan memberi maaf yaitu pada kata “maaf”. Kata “maaf” dituturkan penutur agar lawan tutur mengerti akan kondisi penutur bahwa ia sangat sibuk, sehingga tidak bisa diganggu.
Berbeda dengan Austin, Searle (dalam Leech, 2011:163-166) berpendapat membagi tindak tutur ilokusi berdasarkan berbagai criteria, yaitu asertif, direktif, komisisf, ekspresif, dan deklaratif. Bertolak dari pendapat tersebut jenis ilokusi dapat diuraikan sebagai berikut:
      a.       Asertif
Tindak tutur yang terikat akan kebenaran proposisi yang dituturkan, seperti, menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, melaporkan.
      b.      Direktif
Tindak tutur yang menghasilkan suatu efek yang dituturkan oleh penutur, seperti memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat.
       c.       Komisif
Tindak tutur yang terikat pada tindakan di masa yang akan datang, seperti menjanjikan, menawarkan, berkaul.
       d.      Ekspresif
Tindak tutur tersebut terikat akan suatu tuturan yang mengutarakan sikap psikologis secara tersirat, seperti, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, mengucapkan belangsungkawa, dan sebagainya.
       e.       Deklaratif
Tindak tutur tersebut merupakan tindak yang terikat aka nisi proposisi dengan keadaan aslinya, benar atau salah, seperti mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.

Selain pendapat Austin dan Searle, Wijana (1996:29-36) mengklasifikasikan tindak tutur, yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, tindak tutur tidak langsung tidak literal dan interaksi berbagai jenis tindak tutur. Secara garis besar kategori-kategori wijana, sebagai berikut:
           a.       Tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung
Berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif) dengan tuturan langsung memberitahukan dan tidak langsung menyuruh, kalimat tanya (interogratif) dengan tuturan langsung bertanya dan tidak langsung menyuruh , dan kalimat perintah (imperatif) dengan tuturan langsung memerintah. Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut: Rachmat cuci sepeda motor itu!. Pada tuturan tersebut, penutur menggunakan kalimat perintah langsung kepada lawan tutur. Kalimat perintah dalam tuturan tersebut di tandai dengan tanda seru (!) yang berfungsi sebagai tanda perintah.
           b.      Tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang memiliki maksudnya sama dengan isi tuturan yang sama, sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang memiliki maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan isi tuturan. Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut:
1)      Tulisanmu sangat bagus.
2)      Tulisanmu sangat bagus, (tak usah menulis saja.)
Kalimat 1) bila diutarakan untuk maksud memuji atau mengangumi tulisan yang dibicarakan, merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat 2) karena penutur memaksudkan bahwa tulisan lawan tuturnya tidak bagus dengan mengatakan tak usah menulis saja, merupakan tindak tutur tidak literal.
c.       Interaksi berbagai jenis tindak tutur
Bila tindak tutur langsung dan tidak langsung disinggungkan (diinterseksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, akan didapatkan tindak tutur-tindak tutur sebagai berikut:
1)      Tindak tutur langsung literal
Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur antara maksud dengan isi yang diutarakan sama. Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut: Orang itu sangat mencintai Ibunya. Tuturan tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa orang yang dibicarakan benar-benar mencintai Ibunya.
a)         Tindak tutur tidak langsung literal
  Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang tidak sesuai maksud, tapi kata-kata yang diucapkan sama. Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut: Mobilnya kotor. Dalam tuturan tersebut tidak hanya mengandung informasi, tetapi terkandung maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat berita.
b)         Tindak tutur langsung tidak literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang memiliki maksud sesuai dengan isi kalimat, namun tidak didampingi kata-kata yang sesuai. Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut: Lukisanmu bagus, kok. Tindak tutur langsung tidak literal penutur dalam kalimat tersebut menggunakan kata kok memaksudkan bahwa lukisan lawan tuturnya tidak bagus.
c)         Tindak tutur tidak langsung tidak literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speect act) adalah tindak tutur yang memiliki makna yang tidak sesuai dengan maksud tuturan. Sebagai tindak tutur dalam kalimat berikut: Mobilnya bersih sekali. Tindak tutur tersebut menggunakan kata sekali memaksudkan bahwa mobilnya sebenarnya bukan bersih, tetapi kotor sekali.

2.      Pragmatik
      Linguistik sebagai cabang ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang itu di antaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik, dan sebagainya.
Seperti yang diungkapkan di atas, linguistik memiliki berbagi cabang. Di antara cabang tersebut memiliki hubungan yang menelaah tentang makna-makna satuan lingual yaitu semantik dan pragmatik. Hal itu didukung oleh Wijana (2006:2) berpendapat semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal. Bertolak dari pendapat Leech (dalam Wijana, 1996:4), yaitu kehadiran pragmatik hanyalah tahap terakhir dari perkembangan lingustik yang berangsur-angsur, mulai dari disiplin ilmu yang mengenai data fisik tuturan menjadi disiplin ilmu yang sangat luas bersangkutan dengan bentuk, makna, dan konteks.
Dalam hal ini, beberapa pakar mendefinisikan pragmatik. Pragmatik merupakan menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial.
      Wijana (1996:1), berpendapat pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi.  Berbeda dengan Wijana, Yule (2006:5), mengungkapkan bahwa: pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu.
      Dari kedua pendapat di atas, Levinson (dalam Tarigan, 2009:31),  mengunkapkan definisi pragmatik lebih detail, yaitu telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta penyerasian kalimat-kalimat dan konteks secara tepat.
      Pandangan-pandangan tersebut seyogyanya memiliki arti yang sama, bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji telaah tuturan bahasa dari segi makna. Sejalan dengan pendapat di atas, pragmatik mengkaji tentang tuturan bahasa. Dengan demikian pragmatik sangat erat dengan tindak tutur. Tuturan tersebut memiliki makna, maksud atau tujuan, sehingga perlu dikaji dengan bidang pragmatik.

Daftar Pustaka
Ibrahim, Syukur Abd. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional.
Leech, Geofrrey. 2011. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Prastowo, Andi. 2011. Memahami Metode-Metode Penelitian. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media.
Rani, Abdul, Bustanul Arifin dan Martutik. 2010. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam                      Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana                       Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Afabeta.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa Bandung.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Satimisme dalam Kehidupan Manusia

Satimisme dalam Kehidupan Manusia
Rachmat Utomo          095200138
Kelas E\2009

Karya Penyair Soim Anwar, merupakan sebuah imaji yang penuh kata-kata indah yang dituangkan dalam sebongkah antologi cerpen. Penggunaan intonasi, keserasian kata, gaya bahasa yang tidak hiperbola, dan inti cerita yang selalu menyinggung kaum bawah berdebat dan bertikai dalam lingkungannya, salah satunya berjudul “Berhala di Hutan Kayu”. Cerpen  “Berhala di Hutan Kayu”, bersifat satimisme. Kata “satimisme” merupakan penggabungakan lairan satirisme dan impresionalisme. Satirisme merupakan karya sastra yang menimmbulkan cemooh, nista, atau perasaan muak terhadap penyalahgunaan dan kebodohan manusia serta pranata; tujuannya untuk mengoreksi penyelewengan dengan jalan mencetuskan kemarahan dan tawa bercampur dengan kecaman dan ketajaman. Sedangkan impresionalisme merupakan aliran dalam bidang seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan tentang suatu objek yang diamanati dari wujud objek itu sendiri.
Cerpen “Berhala di Hutan Kayu”, merupakan salah satu bukti budaya buruk manusia yang ditinggalkan kaum atheis di era modern ini, menyembah sebuah patung, menganggap patung sebagai tuhan. Sebagai kutipan berikut ini:
“Patung sosok perempuan itu berdiri menjulang. Rambutnya panjang mengurai. Telapak kakinya menumpu di pelataran beton, sementara kedua tangan membuka seperti tengah  menyambut orang yang akan memeluknya. Bagian-bagian tubuh patung itu tergambar dngan detail. Tanpa ada yang disembunyikan. Di tengah kota yang menengah, parting itu justru hadir tanpa busana sesobek apapapun”. Hlm. 18

Dari kutipan di atas, patung merupakan suatu objek yang diperdebatkan oleh kaum penyembah patung dan muslim. Objek patung inilah yang akan dijadikan suatu cemoh oleh kaum muslim, karena dianggap sudah menistakan agama islam.
            Aliran satimisme yang bersifat negatif, jika dibiarkan maka akan menjadi paham baru yang dapat merusak bangsa seperti mental, sikap, tutur kata, dan sebagainya. Oleh karena itu, kaum muslim merencanakan untuk membongkar patung tersebut. Sebagai kutipan sebagai berikut:
““Semakain bernafsu kalian merebut benda ini, saya akan semakin berusaha keras mempertahankan,” Pak Teis, sambil tersenyum, menggegemgam kapaknya makin erat. Dia menoleh ke kiri kanan, dilemparkannya kapak itu ke udara, kemudian ditangkapnya kembali dengan tangan kiri seperti hendak mempertontonkan kepiawainannya.”
Kutipan di atas, menandakan bahwa aliran satimisme negatif, sudah menyalahi kodrat yang diberikan oleh Allah. Dengan kaum muslim, kaum satimisme negatif dianggap harus dibubarkan karena sudah mencoreng nama Allah.
Disamping itu, kaum muslim, terus berusaha untuk mengahancurkan patung tersebut. Salah satu kutipan satimisme positif, sebagai berikut:
“Kaliab jangan coba-coba mencemari budaya dan moral bangsa kami. Kami adalah Bumi Putra. Kalian agen imperialis yang menyebarkan virus budaya dan seks. Kalian menghancurkan peradaban! Nilai-nilai budaya kalian rusak. Maka jadilah kalian budak kebebasan yang tak berperadaban!”
Kutipan di atas, merupakan semangat atau motivasi positif yang diberikan oleh kaum muslim yang sepertinya sudah tua, yang ditujukkan kepada kaum muda yang beraliran satisme negatife.
            Di sisi lain, aliran satimisme memprofokasi dengan kata-kata bijak yang tentunya bersifat negatif bagi kaum muslim. Sebgai kutipan berikut ini:
“Kau adalah kaum pembenci tubuh. Kau telah melakukan pembungkamman tubuh sehingga mau membungkus rapat dari pandagan khalayak dengan jubah tata karma dan social. Ini yang membuat kebebasa tubuh menjadi rikuh!” Bihat kembali menuding Pak Teis.  Ujung jarinya bergetar.”
Kutipan di atas, merupakan hinaan yang ditujukkan kepada kaum muslim. Dari kutipan tersebut, psikologi aliran satimisme sudah berubah menjadi negatif. Apa yang dipikirkan bahwa patung perempuan tersebut mnerupakan hamba sayahaya, yang patut disembah. Namun, dengan kesigapan kaum muslim, akhirya patung tersebut dipindahkan ke sebuah kolam “katanya”.

Kritik dan Esai Sastra
Cerpen :  Berhala di Hutan Kayu


Esai: Paket Mayat



Esai Paket Mayat
(Hlm. 147-157)
Oleh: Rachmat Utomo

Di bandara banyak penumpang yang berlalu-lalang masuk-keluar dan sebaliknya, hanya sekedar menunggu giliran panggilan. Menunggu, menunggu, dan menunggu waktu yang terasa lama, bahkan berkali-kali melihat jarum berputar terasa lambat. Biasanya jika seorang menunggu, orang tersebut memiliki imajinasi yang tinggi, entah positif atau negatif, yang satu ini entah pikiran positif atau negatif, yaitu menunggu sebuah peti di dorong menuju pesawat. Di dalam peti itu bernama Suparjan, tubuhnya berbalut serba putih sampai diperkirakan terdapat bahan pengawet formalin.
Suparjan merupakan pekerja illegal, maksudya hidupnya sering diombang-ambing ketidak pastian, dikerjar-kejar polisi berkulit hitam tak kenal lelah. Semakin melawan bisa-bisa dikelurkan senjata kecil bersuara tajam ke arah Suparjan. Kemudian ia di seret dan di ujung-ujungya dimasukan ke dalam peti.
Peti itu tak kunjung datang sang penunggu sudah mulai was-was, pikiran sudah tak karuan, dan akhirya peti itu datang, kemudian di masukkan ke bagasi pesawat. Sang penunggupun duduk dengan lega sambil memikirkan peti Suparjan yang bercampur dengan barang-barang penumpang. Sudah 9 bulan Suparjan bekerja di Malaysia, namun berujung kematian. Padahal dulu sudah disarankan masuk ke jalur resmi, malah memilih jalur gelap yang justru sebelum masuk ke tempat tujuan terdapat penderitaan, seperti berenang, mengendap-endap di bibir pantai, menunggu sindikat pekerja liar, sampai diperas oleh supir taksi.
Setelah perjuangan keras Suparjan, ia diterima  jadi kuli proyek bangunan Hotel Seri Malaysia. Namun, tidak membuat pekerja illegal tersebut aman, jika sepi di tempat bangunan tersebut, para pegawai lari berhamburan dari kerajaran polisi, dan masalah simpang siur gaji yang dikorupsi oleh sesama warga Negara sendiri.
Sebulan telah berlalu, kabar duka meyelimuti adik ipar Suparjan. Dikabarkan “Suparjan kecelakaan dan meninggal”. Jika ditanya mengenai kecelakaan yang menimpa Suparjan, mereka hanya menggelengkan kepala. Padahal gaji Suparjan belum dibayar, ditambah lagi pengurusan pemulangan jenazah yang berliku. Adik ipar Suprjanpun was-was dengan peti jenazah yang tidak tanpa dimasukan ke dalam pesawat, padahal calon penumpang disuruh masuk ke dalam pesawat untuk landing ke Juanda. Setibanya di Juanda, adik ipar Suparjan hanya bisa merenung melihat penderitaan tenaga kerja Indonesia yang hidupya terombang-ambing di luar negri. Semoga ketika pulang dari TKI tidak menjadi paket mayat.

Selasa, 02 Juli 2013

Burung-burung Gagak di atas Orchard Road

Nama                           : Rachmat Utomo
Nim                              : 095200138
Kelas/Angkatan            : E/2009
Mata Kuliah                 : Kritik dan Esai Sastra
Dosen                          : DR. M. Shoim Anwar, M.Pd.
Judul Cerpen                : Burung-burung Gagak di atas Orchard Road

Hitam Legam

Kritik dan Esai
Antologi cerpen karya Soim Anwar, memang memiliki khas tersendiri dalam menciptakkaan dan merangkai kata-kata menjadi kalimat yang lugas, padat, dan tentunya intonasi yang terjadi di dalam kalimat memiliki unsur keindahan. Hal itu, terdapat disalah satu judul cerpen “Burung-burung Gagak di atas Orchard Road”. Cerita yang diungkapkan penyair dalam cerpen “Burung-burung Gagak di atas Orchard Road” mengigatkan pada film luar negri “the broune”, yang dikisahkan tokoh utama dianggap teroris sekaligus pembunuh dikejar-kejar oleh aparat polisi. Kemudian juga terdapat sebuah lagu karya anak banga yang dinyanyikan oleh band unggu berjudul “dimanakah”, yang dikisahkan seorang manusia yang telah berbuat dosa dan bersembunyi, namun dimata Allah akan terlihat.
Dari sekilas flim “the broune” dan lagu unggu “dimanakah”, semua kisah dijadikan satu dalam cerpen “Burung-burung Gagak di atas Orchard Road”. Tokoh aku dan Boi digambarkan oleh penyair terjerumus oleh dunia hitam dengan watak, penjahat. Tokoh aku dan Boi memiliki watak penjahat, mereka seorang pembunuh bayaran. Mereka ditugaskan untuk membunuh target yang sudah ditentukan. Sebagai kutipan berikut  ini:
“Esok paginya kejadian itu terbeber di koran. Burhan Notonegoro telah tiada. Hari itu pula semua janji pada terpenuhi. Ada transfer masuk. Saldo rekening kami melonjak. Dia, sengaja tak kusebut nama dan identitasnya, mengucapkan terima kasih pada kami.”
Di samping itu watak pintar, penyayang, dan tak tenang (binggung), juga                    dihadirkan dalam  cerita cerpen tersebut. Sebagai kutipan berikut:
Aku dan Boi si pintar ahli strategi:
“Burhan berbelok mengarah jalan Kamboja. Meski lampu-lampu jalan meremang, mobil itu tekah lama kami kenal. Sebentar lagi lajunya akan sampai bundaran dekat kampus dan kecepatanya pasti berkurang. Jam-jam begini lalu lintas di situ lumayan sepi.”
 Tokoh Aku dan Boi si penyayang:
Tokoh aku:
““Kamu kunci hidupku. Aku akan mengamankan diri. Hanya kau yang tahu. jangan bilang siapa-siapa,” kataku pada Elina sebelum pergi.”
Tokoh Boi:
“Boi ceroboh, dia menelepon istrinya berkali-kali di wartel yang sama, padahal dia sudah menjadi daftar pencarian orang.”
Tokoh aku yang tak tenang:
Di sinilah letak kemenarikan cerpen tersebut. Penyair seolah-olah bermain-main dengan kondisi psikologis tokoh aku, sering dibicarakan oleh penyair dengan digunakan objek burung gagak. Burung gagak biasanya diidentikan dengan “kematian” atau “malaikat penjabut nyawa”. Berulang kali pindah tempat guna menghindar kejaran polisi, di tempat ia tinggal pulalah selalu bertemu burung gagak. Untuk terkahirnya, tokoh aku dimakan oleh burung gagak. Sebagai kutipan berikut ini:
“Beribu-ribu burung gagak dalam lorong menyerbu diriku secara serentak. Kulit tubuhku disobek-sobek hingga habis. Daging tubuhku dibuat pesta pora.”
Dari kisah di atas, tokoh aku ataupun si Boi hidupnya seperti hitam legam, meskipun berhasil lari dari kejaran polisisi, hidupnya tidak tenang, berpindah-pindah tempat. Hitam legam menggambarkan kegelapan disetiap diri manusia yang terjerumus oleh bisikan nafsu duniawi, “melakukan kegiatan apapun asalkan mendapatkan yang diinginkan.”
v  Kelebihan dan kelemahan
No
Kelebihan
Kelemahan
1)
Penyair dengan cirri kahsnya selalu bermain dengan intonasi kata yang serasi.
Cerpen tersebut terasa dibuat-buat seperti dalam adegan flim.
2)
Penyair lebih condong bermain-main dengan kondisi psikologis tokoh aku.
Cerita di awal dan tengah mudah ditebak.
3)
Di tengah cerita sering diceritakan kisah masa lampau.