Selasa, 12 November 2013

Esai: Paket Mayat



Esai Paket Mayat
(Hlm. 147-157)
Oleh: Rachmat Utomo

Di bandara banyak penumpang yang berlalu-lalang masuk-keluar dan sebaliknya, hanya sekedar menunggu giliran panggilan. Menunggu, menunggu, dan menunggu waktu yang terasa lama, bahkan berkali-kali melihat jarum berputar terasa lambat. Biasanya jika seorang menunggu, orang tersebut memiliki imajinasi yang tinggi, entah positif atau negatif, yang satu ini entah pikiran positif atau negatif, yaitu menunggu sebuah peti di dorong menuju pesawat. Di dalam peti itu bernama Suparjan, tubuhnya berbalut serba putih sampai diperkirakan terdapat bahan pengawet formalin.
Suparjan merupakan pekerja illegal, maksudya hidupnya sering diombang-ambing ketidak pastian, dikerjar-kejar polisi berkulit hitam tak kenal lelah. Semakin melawan bisa-bisa dikelurkan senjata kecil bersuara tajam ke arah Suparjan. Kemudian ia di seret dan di ujung-ujungya dimasukan ke dalam peti.
Peti itu tak kunjung datang sang penunggu sudah mulai was-was, pikiran sudah tak karuan, dan akhirya peti itu datang, kemudian di masukkan ke bagasi pesawat. Sang penunggupun duduk dengan lega sambil memikirkan peti Suparjan yang bercampur dengan barang-barang penumpang. Sudah 9 bulan Suparjan bekerja di Malaysia, namun berujung kematian. Padahal dulu sudah disarankan masuk ke jalur resmi, malah memilih jalur gelap yang justru sebelum masuk ke tempat tujuan terdapat penderitaan, seperti berenang, mengendap-endap di bibir pantai, menunggu sindikat pekerja liar, sampai diperas oleh supir taksi.
Setelah perjuangan keras Suparjan, ia diterima  jadi kuli proyek bangunan Hotel Seri Malaysia. Namun, tidak membuat pekerja illegal tersebut aman, jika sepi di tempat bangunan tersebut, para pegawai lari berhamburan dari kerajaran polisi, dan masalah simpang siur gaji yang dikorupsi oleh sesama warga Negara sendiri.
Sebulan telah berlalu, kabar duka meyelimuti adik ipar Suparjan. Dikabarkan “Suparjan kecelakaan dan meninggal”. Jika ditanya mengenai kecelakaan yang menimpa Suparjan, mereka hanya menggelengkan kepala. Padahal gaji Suparjan belum dibayar, ditambah lagi pengurusan pemulangan jenazah yang berliku. Adik ipar Suprjanpun was-was dengan peti jenazah yang tidak tanpa dimasukan ke dalam pesawat, padahal calon penumpang disuruh masuk ke dalam pesawat untuk landing ke Juanda. Setibanya di Juanda, adik ipar Suparjan hanya bisa merenung melihat penderitaan tenaga kerja Indonesia yang hidupya terombang-ambing di luar negri. Semoga ketika pulang dari TKI tidak menjadi paket mayat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar