Esai Paket Mayat
(Hlm. 147-157)
Oleh: Rachmat Utomo
Di bandara banyak
penumpang yang berlalu-lalang masuk-keluar dan sebaliknya, hanya sekedar
menunggu giliran panggilan. Menunggu, menunggu, dan menunggu waktu yang terasa
lama, bahkan berkali-kali melihat jarum berputar terasa lambat. Biasanya jika
seorang menunggu, orang tersebut memiliki imajinasi yang tinggi, entah positif
atau negatif, yang satu ini entah pikiran positif atau negatif, yaitu menunggu
sebuah peti di dorong menuju pesawat. Di dalam peti itu bernama Suparjan,
tubuhnya berbalut serba putih sampai diperkirakan terdapat bahan pengawet formalin.
Suparjan merupakan
pekerja illegal, maksudya hidupnya sering diombang-ambing ketidak pastian,
dikerjar-kejar polisi berkulit hitam tak kenal lelah. Semakin melawan bisa-bisa
dikelurkan senjata kecil bersuara tajam ke arah Suparjan. Kemudian ia di seret
dan di ujung-ujungya dimasukan ke dalam peti.
Peti itu tak kunjung
datang sang penunggu sudah mulai was-was, pikiran sudah tak karuan, dan akhirya
peti itu datang, kemudian di masukkan ke bagasi pesawat. Sang penunggupun duduk
dengan lega sambil memikirkan peti Suparjan yang bercampur dengan barang-barang
penumpang. Sudah 9 bulan Suparjan bekerja di Malaysia, namun berujung kematian.
Padahal dulu sudah disarankan masuk ke jalur resmi, malah memilih jalur gelap
yang justru sebelum masuk ke tempat tujuan terdapat penderitaan, seperti
berenang, mengendap-endap di bibir pantai, menunggu sindikat pekerja liar,
sampai diperas oleh supir taksi.
Setelah perjuangan
keras Suparjan, ia diterima jadi kuli
proyek bangunan Hotel Seri Malaysia. Namun, tidak membuat pekerja illegal
tersebut aman, jika sepi di tempat bangunan tersebut, para pegawai lari
berhamburan dari kerajaran polisi, dan masalah simpang siur gaji yang dikorupsi
oleh sesama warga Negara sendiri.
Sebulan telah berlalu,
kabar duka meyelimuti adik ipar Suparjan. Dikabarkan “Suparjan kecelakaan dan
meninggal”. Jika ditanya mengenai kecelakaan yang menimpa Suparjan, mereka
hanya menggelengkan kepala. Padahal gaji Suparjan belum dibayar, ditambah lagi
pengurusan pemulangan jenazah yang berliku. Adik ipar Suprjanpun was-was dengan
peti jenazah yang tidak tanpa dimasukan ke dalam pesawat, padahal calon
penumpang disuruh masuk ke dalam pesawat untuk landing ke Juanda. Setibanya di Juanda, adik ipar Suparjan hanya
bisa merenung melihat penderitaan tenaga kerja Indonesia yang hidupya
terombang-ambing di luar negri. Semoga ketika pulang dari TKI tidak menjadi
paket mayat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar